Senin, 05 September 2011
Sejarah hari raya ketupat
Hari raya ketupat, disebut juga lebaran ketupat, merupakan hari raya ‘pamungkas’ dari serangkaian Idul Fitri. Hari raya ketupat inilah yang – sesungguhnya – disebut lebaran (dari bahasa Jawa “lebar”, artinya rampung, tuntas, selesai dan terbebas). Orang Jawa menyebutnya “riyoyo kupat”. Riyoyo kupat, sejatinya merupakan penutupan dari ibadah puasa 6 hari Syawal yang berakhir tanggal 7 jika dilakukan langsung-tunai dari tanggal 2 Syawal, maka tanggal 8 adalah lebaran ketupat. Menilik asal muasal dari tradisi Jawa asli ini, maka sesungguhnya riyoyo kupat adalah hari raya bagi orang yang melakukan puasa sunnah 6 hari Syawal. Namun dalam prakteknya tidak demikian, selamatan dengan menu utama ketupat disajikan tidak melulu pada tanggal 8 Syawal dan tidak hanya dirayakan oleh yang berpuasa sunnah saja. Terjadi pergeseran nilai dan tujuan dari awal ‘tasyri’nya’. Tidak masalah dan tidak ada salahnya kapanpun orang berselamatan dengan ketupat atau bukan, sedekah yang ikhlas dan baik tetap bernilai pahala.
Tradisi riyoyo kupat, sebagaimana namanya, adalah murni tradisi Jawa. Tidak akan ditemukan di belahan benua lain manapun. Demikian pula referensi tentang riyoyo kupat ini sulit dicari di buku-buku. Filosofi kupat-lepet bersumber dari kalangan Islam Jawa kuno yang dituturkan secara turun temurun dari kearifan para pinisepuh jaman dulu dalam menanamkan nilai-nilai luhur ke-Islam-an dengan paduan kehalusan budaya jawa dalam bermetafora.
Lebaran, sebagaimana disebut di awal tulisan, berasal dari kata lebar dengan arti sudah rampung dari puasa 6 hari Syawal dan sudah selesai bersilaturrahmi dengan sanak kerabat, handai tolan dll. Sebagai ungkapan syukur dan harapan terkabulnya segala amal ibadah, maka diadakan selamatan dengan menu utama kupat dan lepet. Kupat adalah beras yang ditanak dalam bungkus anyaman daun kelapa muda yang di sebut janur. Dipilihnya janur sebagai bungkus semata-mata sebagi tafa’ul (harapan terjadinya sesuatu dengan penyimbolan tertentu) agar diberi penerangan cahaya. Janur diarabkan menjadi ja’a nur (telah datang cahaya).
Kupat merupakan akronim Jawa dari ngaku lepat (mengakui kekhilafan, kesalahan atau kekeliruan). Sebagaimana kita maklumi bersama di pengajian-pengajian, mengakui kesalahan merupakan dasar pokok dari taubat disamping meminta maaf dan menyesali perbuatan. Dengan kupat, diharapkan akan enteng dan mudah bagi kita untuk menyerap pelajaran mengakui kesalahan kita tanpa diribetkan oleh status ke-AKU-an yang merupakan pangkal dari egoisme-kesombongan dan keangkuhan.
Ketupat kemudian dipasangkan dengan lepet sebagai pelengkap. Lepet diartikan lekat (lengket), dimaksudkan sebagai penyadaran bahwa manusia memang tidak terlepas dari kesalahan. “Kullu bany Adam khattho’un wa khoyr al-khottho’in al-tawwabun” (semua anak turun Adam [berpotensi] melakukakan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang bertobat). Lepet dari bahan beras ketan dibungkus janur juga, dicampur dengan sedikit biji kacang panjang kering. Biji kacang yang hitam begitu mencolok dalam lepet dari beras ketan yang putih. Demikian dalam kehidupan sehari-hari, manusia cenderung ‘meneropong’ kesalahan orang lain. Dan, umumnya, kesalahan sulit dimaklumi diantara sekian banyak kebenaran dan kebaikan. Dengan lepet ini diharapkan tumbuh sifat arif, dengan memaklumi kesalahan yang terjadi di tengah-tengah pergaulan bermasyarakat. Fitrah manusia itu cenderung pada yang baik dan yang benar. Hanya saja, entah karena apa, bisa saja terjadi kesalahan dan itu menjadi sebuah catatan khusus tak terlupakan tanpa mempertimbangkan sisi-sisi kebaikan dan kebenaran yang – sebenarnya – jauh lebih dominan ketimbang kesalahan yang diperbuat seseorang.
Dengan saling menyadari kesalahan, saling memaklumi dan saling memaafkan, langkah-langkah ke depan menjadi lebih terarah oleh penerangan cahaya dan hidup menjadi damai dalam kebersamaan. Kebersamaan inilah yang menjadi inti dari disyariatkannya shalat berjamaah, haji dan jamaah-jamaah lainnya. Karena hanya dengan kebersamaan, cita-cita besar dapat diwujudkan. Dengan semangat kebersamaan, misalnya, kita berharap krisis finansial yang terjadi di Amerika yang imbasnya – menurut para pakar – diprediksikan baru akan terasa di Indonesia pada 2009, akan dapat teratasi dengan baik, betapapun arogansi Amerika terhadap negara-negara muslim dengan politik standar gandanya di kancah percaturan dunia, pribadi-pribadi mulia tidak selayaknya bersorak di atas penderitaan orang maupun bangsa lain. Duka nestapa, malapetaka, bencana dan musibah-musibah lainnya menjadi ringan bila ditanggung bersama-sama...[]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar